Sebotol Air Mineral di Bonbin

22:04


Pagi ini mungkin pagi tidak menguntungkan bagiku. Sudah tahu ada kuliah dosen killer yang suka memarahi mahasiswa yang telat, meski hanya telat 5 menit, pagi itu aku malah bersiap-siap dengan berleha-leha. Bahkan sampai tidak sempat untuk menyiapkan sebotol air mineral untuk bekal. Bisa beli air mineral di bonbin, pikirku.

Sampai di kampus, aku sudah telat 15 menit, larilah aku menuju ruang kuliah tanpa lihat kiri kanan. Sambil lari pun aku menyiapkan mental untuk mengadapi sang dosen. Sampai di depan ruang kuliah, ku ketuk lalu ku buka pintu dengan hati-hati.

Kosong.

Satu kelas menghilang. Kelas tidak mungkin dengan gampangnya dibatalkan, mungkin pindah ruang, pikirku. Tapi ini sudah terlalu telat untuk bergabung. Sambil meredam kekecewaanku, juga meyakinkan diriku sendiri "nggak apa-apa, baru pertama kali 'bolos' kok untuk mata kuliah ini~ nggak apa~", aku menuju bonbin, berniat untuk membeli air mineral.

Tapi yang kutemui hanyalah bangunan kosong, yang ditempeli berbagai macam kertas berisi tulisan-tulisan menggelitik.

Untuk orang non-UGM, pasti mengira bonbin adalah singkatan dari kebon binatang, yang secara harfiah terdapat berbagai macam hewan eksotis. Tetapi bonbin di UGM adalah sebuah (bekas) kantin yang terletak di (bekas) Jalan Sosio-humaniora. Secara geografis, bonbin terletak di FIB, tetapi letaknya yang berada di pinggiran FIB dan bersinggungan dengan fakultas lain, 'penghuni' bonbin berasal dari mahasiswa berbagai fakultas, atau mungkin dari berbagai universitas.

Bonbin dibangun tahun 1980an sebagai fasilitas relokasi dari belasan pedagang yang ada di sekitar UGM. Harga makanan-makanan disana dapat dikatakan yang paling murah diantara kantin-kantin UGM lainnya. Barang yang dijajakan disana pun bervariatif, selama 3 tahun kuliah di FIB saja pun aku belum pernah menjajal semua jajanan bonbin.

Itu baru barang yang digadangkan, belum pedagangnya. Pedagang ramah? Itu standar, mbak, mas. Hal yang kualami adalah, ketika membeli capuccino blender di salah satu kedai jus di bonbin, mas pedagang selalu bertanya-tanya tentang perkuliahanku ketika pegunjung sepi. Sepel sih, cuma seperti, "Kelas jam berapa?", "Kok jam segini udah dateng? Ngerjain tugas?", "Ujian mbak? Jam berapa?" Belum lagi ketika capuccino sudah siap sedot, mas pedagang selalu memberikan capuccinoku sambil berkata, "Semangat ya!". Dan aku pun jadi berbunga-bunga, Alhamdulilah ya ada yang merhatiin.

Dan aku baru tahu hari ini kalau masnya mengatakan "semangat ya!" kepada semua mahasiswa yang membeli minuman di kedainya. Sakit mas, sakit.

Ehm. Bercanda. Aku tahu kalau masnya sudah punya anak.

Belum lagi masalah hutang. Pedagang bonbin rata-rata bisa dihutangin. Dan normalnya, ketika seorang pedagang dihutangi, perlakuan si pedagang pasti jadi lebih masam. Tapi tidak di bonbin. Pedangang di bonbin malah menjadi orangtua atau saudara dari mahasiswa 'penghuni' bonbin. 

Selain itu bonbin adalah tempat nongkrong yang asyik untuk mahasiswa yang merindukan kebebasan di area kampus. Tidak ada yang memarahi kamu karena posisi dudukmu, rokokmu, maupun suara kerasmu. Meja-meja panjang di bonbin tidak terlalu cukup untuk menampung semua mahasiswa penikmat bonbin, tetapi disitulah letak kekeluargaannya. Kamu nggak akan pernah makan sendiri di bonbin. Kalaupun kamu berniat makan sendirian di bonbin, akan ada orang yang datang menghampiri dan bertanya, "kosong nggak mbak? boleh gabung?" dan terkadang orang asing menjadi teman di bonbin.

Dan beberapa kios di bonbin buka hingga malam hari, untuk mengakomodasi mahasiswa pecinta kampus yang berkegiatan hingga malam hari. Bisa dibilang bonbin adalah pom bensin dari kegiatan-kegiatan malam di kampus UGM, terutama FIB, yang terkenal dengan kegiatan-kegiatannya. Tidak ada yang tahu kedepannya apakah kegiatan malam di FIB bisa berjalan tanpa bonbin..



Syok, bingung, panik (karena nggak ada air mineral) ketika melihat bonbin sudah kosong. Padahal memasuki semester ini, isu tentang relokasi bonbin sudah santer di telinga mahasiswa-mahasiswa FIB, harusnya aku tidak kaget. Sebenarnya, tidak masalah juga bonbin di relokasi, karena tempat baru pedagang-pedangan bonbin adalah Pujale, Pusat Jajanan Lembah yang cuma belasan meter dari ex-bonbin.

Tapi, dibenakku dan beberapa teman-teman mahasiswa penikmat bonbin lainnya, itu artinya berjalan kaki belasan meter lebih jauh untuk sebotol air mineral, atau sebuah bolpen, ataupun sebatang rokok. Dibenakku, tidak terlintas apa kesusahan para pedagang. Ya sudah. Mereka diberi tempat baru, kan? Masa bodoh dengan pendapatan pedagang yang berkurang, pembeli yang berkurang juga, atau yang lainnya! Makanya aku tidak ikut menyuarakan suara pedagang bonbin pada saat isu relokasi bonbin masih menjadi isu, karena kupingku tidak bisa mendengar suara pedagang kecil. Suara ini terdengar ketika aku dipaksa berjalan belasan meter lagi demi sebotol air mineral.

Hatiku sedikit terjawil dengan pemikiran ini. Manusia, aku (kalau aku masih dianggap manusia), ternyata hanya mendengar sekeliling ketika lingkungan itu menguntungkanku. Mereka jual barang, aku ada uang, beres. Disuruh jalan ke lembah? Males! Ayo protes!

Itu tanda bahwa aku adalah manusia, manusiawi.

Tapi aku lupa dengan senyum dibibirku setelah bertemu dengan pedagang, teman dekat, maupun teman lama di bonbin, setelah menjalani perkuliahan dengan penat, keringat, dan nasihat-nasihat dosen yang terdengan bagai gertakan dan ancaman. Aku lupa dengan makanan yang memberi tenaga untuk mengerjakan tugas kuliah yang selalu ada. Aku lupa.

Aku lupa bagai aku lupa dengan botol air mineral yang aku buang setelah sekali pakai.

You Might Also Like

0 comments